September 8, 2009

Fokus Kepada Allah Dalam Segala Hal

Seperti kebanyakan orang, saya juga senang sekali mendapat pujian. Bagi saya, pujian adalah suatu motivasi besar untuk mencapai suatu hal yang lebih baik di kehidupan saya. Terus terang, terkadang saya berusaha keras merubah diri saya dan mendisplinkan diri saya juga sedikit banyak ingin dipuji oleh orang lain. Saya termasuk orang yang tidak suka tertinggal. Saya selalu ingin menjadi yang utama dan lebih baik. Tipe – tipe orang yang ingin menampilkan sisi perfeksionis di depan publik dan menjadi orang yang baik di depan banyak orang.

Namun, ada kalanya, orang lain tidak sepaham dengan kita. Malah, sering kali, apa yang kita anggap baik dan sempurna, tidak sesuai dengan keinginan orang lain. Akibatnya, banyak orang yang memprotes, mengkritik hasil kerja kita. Dulu, setiap kali saya menerima kritik, kebanyakan respon saya adalah marah, kesal, ataupun tidak mau menerima atau mendengarkan.

Namun, suatu kali, saya mendapatkan satu ayat yang mengubah cara pandang saya; ‘Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah’ (1 Korintius 10:31). Saat membaca ayat satu ini, saya diingatkan. Sebenarnya, kenapa kita harus marah dan kecewa terhadap anggapan orang lain pada kita. Selagi kita telah mencoba segala yang terbaik dan semampu kita, itu sudah cukup. Terlebih lagi, fokuskan semua apa yang kita lakukan adalah demi Bapa kita, untuk menyenangkan dan memuliakan Bapa kita. Kenapa kita harus terpengaruh dengan omongan orang lain selagi apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang baik dan menyenangkan Allah.

Pikirkanlah, adakah hal - hal yang menyenangkan Bapa tidaklah baik bagi manusia? Dan lagi, jika fokus kita adalah menyenangkan Bapa kita, saat hal itu sudah terpenuhi, bukankah kita akan merasa puas dan bahagia karena kita telah mencapai tujuan kita. Saat fokus kita tidak lagi untuk mendapat pujian ataupun menyenangkan hati orang lain, melainkan menyenangkan hati Allah, kita tidak akan pernah merasa kecewa ataupun marah terhadap orang lain.

Saya rasa, kebanyakan orang ingin terlihat lebih baik dari orang lain. Pernahkah anda marah terhadap orang lain karena ia mengkritik anda? Atau saat dia berbuat sedemikian mungkin hingga anda terlihat tidak baik dimata orang lain. Misalnya, teman kerja anda membuat anda terlihat “minus” di hadapan atasan anda, atau teman dekat anda membuat anda terlihat tidak sebaik dirinya di depan orang lain. Saya pernah mengalami hal ini. Saya merasa kesal dan marah, merasa seperti menjadi korban kelicikan. Ingin rasanya saya melampiaskan kemarahan saya dengan membalas kelicikan mereka dengan hal yang serupa.

Tapi, saat amarah saya mulai reda dan diri saya mulai tenang, saat saya berdoa, selalu ada kedamaian yang diberikan Bapa pada saya. Teringat kasih Bapa yang begitu besar, yang selalu memaafkan, saya merasa ingin belajar meneladani-Nya. Lebih lagi, saat saya berdoa, saya diingitkan untuk selalu fokus pada Bapa dan melakukan semuanya demi kemuliaan kerajaan-Nya di dunia. Semua ini membuat saya jauh lebih baik dan menghapuskan semua kekesalan saya.

Apapun yang terjadi di kehidupan kita, yang membuat kita merasa tidak damai, saat kita diam dan menyadari keberadaan Bapa dan kasih-Nya, kita akan merasa damai. Namun, tidak hanya datang kehadirat-Nya kita lantas merasa damai, namun yang terpenting adalah percaya dan fokus pada Tuhan. Ada tertulis di alkitab; ‘Semua orang yang percaya kepada-Nya akan tetap memiliki damai yang sempurna, yaitu semua orang yang hatinya tertuju kepada Tuhan’ (Yesaya 26:3).

Saat kita fokus pada menyenangkan hati Tuhan, tidak lagi ada perkataan yang membuat kita kecewa. Saat kita datang kehadirat-Nya, tidak lagi ada rasa sedih dan kecewa, karena kasih-Nya yang begitu besar. Saat kita percaya pada-Nya, tidak lagi ada ketakutan dan keraguan, karena kita tahu, Ia telah menyediakan yang terbaik dan terindah bagi kita.

September 5, 2009

Hari Libur Tuhan

Pertama kali anda membaca judul artikel ini, mungkin ada dari anda yang berfikir mungkin saya salah menulis judul. Atau, sejak kapan Tuhan benar – benar sperti manusia yang juga pergi berlibur?

Saya sering kali membayangkan Tuhan seperti layaknya manusia, terutama saat saya berdoa dan mencurahkan isi hati dan pikiran saya pada-Nya. Ini sangat membantu saya untuk lebih merealisasikan wujud Bapa kita dalam pikiran saya. Yah, keterbatasan imaginasi manusia hanya sampai pada benda – benda yang memiliki fisik.

Tapi pernah terfikir oleh saya disaat saya sedang senggang, kalau benar Bapa kita seperti manusia, apa Ia juga butuh istirahat? Apa Ia juga menangis? Saat itu juga, fikiran saya beralih pada kenyataan bahwa Bapa kita adalah Roh, layaknya roh kudus yang tidak mungkin menangis ataupun butuh istirahat.

Sesaat saya merasa diyakinkan, namun saat saya merenung lebih jauh, saya merasa, jika Bapa tidak pernah istirahat, tidakkah Ia terlalu lelah? Mazmur 121: 1-4 menyatakan bahwa Pertolongan kita berasal dari Tuhan, Ia tidak pernah tertidur dan selalu menjaga kita.

Tuhan selalu ada saat kita butuhkan. Bahkan, selalu menjaga kita di dalam setiap keadaan. Ia tidak pernah beristirahat. Teringat cerita Yesus saat ia masih di dunia, Ia tidak pernah mengambil cuti seminggu dalam menjalankan misi dari Bapa. Satu hal yang kita baca, satu – satunya situasi dimana Yesus pergi sendiri ialah waktu dimana Ia hendak berdoa.

Tidakkah Ia merasa lelah? Seperti kita yang saat bangun pagi, sudah ada begitu banyak tugas, pekerjaan, dan aktivitas seharian yang menanti kita. Saat begitu banyak masalah yang datang dihadapan kita. Memikirkan ini semua saja sudah membuat saya begitu lelah.

Apalagi Bapa kita di surga, yang setiap saat melihat kita terus menerus melakukan kesalahan dan tidak mematuhi perintah-Nya. Apakah Ia menangis? Saat Ia melihat salah satu dari kita pergi meninggalkan-Nya dan bersekutu dengan dosa. Saat Ia melihat salah satu dari kita sedang berduka dan butuh pertolongan.

Saya rasa Bapa kita sangat lelah dan jika Ia bisa menangis, maka Ia pasti akan menangis. Tapi satu hal yang bisa kita pelajari dari sosok Bapa kita yang penuh kasih. Selelah apapun Ia, sesedih apapun Ia, Ia selalu setia dan ada untuk melindungi, menjaga, dan mengasihi kita.

Banyak dari kita berfikir Allah sudah capek atau malas dengan keseharian kita yang mungkin terhambat di satu titik dan tidak mengalami peningkatan. Atau, Ia mungkin sudah bosan dan lelah dengan kesalahan kita yang berulang kali masuk dalam dosa. Saya pernah merasa begitu. Tapi, ingatlah, Bapa selalu setia. Ia tidak pernah meninggalkan kita. Malah, kenyataanya sering kali kita yang meninggalkan dan melupakan-Nya disaat kita merasa kita tidak membutuhkan-Nya.

Sering kali, disaat kita merasa bahagia dan serba berkecukupan, kita melupakan Bapa kita. Kita terlena dengan segala berkat yang dilimpahkan Bapa kepada kita. Namun, kita harus sadar bahwa Bapa adalah sumber kekuatan kita. Kita bagaikan ranting pohon yang akan mati tanpa pokok pohon, yaitu Bapa kita, sehingga kita harus terus menempel, terus mempunyai hubungan dengan Bapa.

Saya merasa, saat bersama Tuhan, saat kita bisa membangun hubungan dengan Tuhan dengan banyak berdoa dan berkomunikasi dengan-Nya, kita akan merasakan damai sejahtera dan kekuatan yang begitu besar untuk menghadapi berbagai masalah.

Mungkin ada beberapa diantara anda bingung, bagaimana berkomunikasi dengan Bapa. Dengan berdoa, berbicara dan mendengarkan perkataan-Nya. Dulu saya merasa bingung. Bagaimana kita mendengar Bapa berbicara? Bacalah alkitab anda, sedikit saja sehari. Dari sini anda akan merasakan, Bapa berbicara dengan anda melalui alkitab, ia akan memberikan intepretasi yang begitu spesifik pada setiap pribadi dalam konteks yang begitu spesifik dalam masalah anda masing – masing. Jika anda masih bingung, coba terapkan dan anda akan mengerti.

Ya, kembali ke kenyataan bahwa Tuhan yang selalu setia dan selalu ada buat kita. Selain kita bisa belajar untuk terus bergantung dengan-Nya, kenyataan ini juga memberikan pelajaran bahwa Bapa adalah teladan yang sempurna.

Kita manusia memang sering kali butuh berlibur. Stress, masalah, dan aktivitas yang begitu banyak membuat kita sering merasa hampir tidak mampu untuk melanjutkan keseharian kita. Namun, ini tidak berarti, dengan berlibur, kita juga berlibur untuk membagikan dan menyebarkan kasih Bapa kita pada orang lain.

Kita bisa belajar dari pribadi Yesus. Saat mukzizat “lima roti dua ikan” (Lukas: 9) terjadi. Yesus saat itu sedang ingin beristirahat setelah lelah seharian mengajar dan menyembuhkan.orang – orang. Namun banyak orang yang mengikuti-Nya. Saat itu, Ia tidak protes dan berkata bahwa Ia sedang beristirahat, namun Ia dengan kasih-Nya yang begitu besar mengajar mereka dan menyembuhkan lebih banyak orang disana.

Kita bisa belajar dari Yesus untuk menyebarkan kasih yang kita miliki kapan saja. Kemanapun kita pergi, selalu ada saja orang yang sangat membutuhkan kasih Bapa dan kasih dari sesama. Bisa saja orang – orang di sekeliling kita sedang merasa kesepian, sedih, stress, atau merasa kehilangan. Terkadang, memberikan senyuman pada sesama atau memuji dan memberikan kata – kata yang memberikan motivasi juga bisa mengubah keadaan menjadi jauh lebih baik.

Sekarang, apakah anda sedang berlibur dalam menyebarkan kasih Bapa pada sesama? Apakah anda berlibur dalam komunikasi dan rutinitas doa anda? Jika iya, mulailah kembali semua itu dan ayo dekatkan diri kita dengan Bapa, agar kita tidak menjadi ranting yang kering namun menjadi ranting yang subur dan dapat berbuah. Sehingga buah itu bisa kita sebarkan untuk teman – teman, keluarga dan orang – orang disekeliling kita.